Kamis, 13 Juni 2013

Rekam Jejak Wahhabisme
Oleh: Irfan Permana
Gerakan Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban.Ironisnya, ini terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang membabi buta, yakni doktrin takfiri , yang menganggap kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi, yaitu pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi mereka), gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim yang dipandang tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di tubuh Islam pun menjadi tak terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi semakin jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan internal yang sudah usang.
I. Wahhabi Sebagai Sekte tersendiri
Istilah Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri atau pengikutnya, melainkan datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin 'Abdul Wahhab (1115 H / 1703 M - 1206 H / 1791 M). Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi stigma yang melahirkan dampak buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid , yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam.Menurut Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebutnya "Wahhabisme" dan "kaum Wahhabi". [1]
Para pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya untuk memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid'ah dan khurafat. Islam yang sarat beban historis harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang harus dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri.Para pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap mereka bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah . Hal itu disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin 'Abdul Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni [2] , hal itu mengindikasikan bahwa istilah "Sunni" telah diberi makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih berarti "non-Syi'ah". [3] Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
II. Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah
Pendiri gerakan Wahhabi, Muhammad bin 'Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi misionaris, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu jelas [4] . Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran), Afghanistan dan India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi. Setelah berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni atau Syi'ah.
Sebagian peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah pada keraguan tersebut. Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud "(buku ini bisa Anda download disini[Pdf] -red-) [5] , ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam Confession of a British Spy " [6] , demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan Muhammad bin 'Abdul Wahhab. Sampai akhirnya berhasil melakukan brainwash terhadap Muhammad bin 'Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin 'Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh. [7]
Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris. Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan.Meskipun pada perkembangan berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah terletak di Najd , sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di sinilah dakwah Ibnu 'Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu 'Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang diberi judul Kitâb al-Tawhid , sebuah referensi yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
......
Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin 'Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang siswa.
......
Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu harus dipertebal ukurannya . [8]
Setelah empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya, ' Uyaynah , yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu 'Utsman ibn Mu'ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu' Abdul Wahhab.
Perlindungan penguasa membuat Ibnu 'Abdul Wahhab semakin tak terkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid'ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur'an yang dianggapnya menyimpang.
Namun ini tidak bertahan lama. Penguasa saat itu, 'Utsman ibn Mu'ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir'iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa 'ud , yang notabene bermusuhan dengan amir 'Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu 'Abdul Wahhab mendapat perlindungan. Selanjutnya dibentuklah sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa'ud mendapatkan legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu 'Abdul Wahhab diuntungkan dengan diangkatnya resmi menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa'ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin' Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata, Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut. [9]
Inilah babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tahun 1159 H / 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Pertama mereka menyerang mazhab Syi'ah, kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa'ud berkembang seluas 30 mil persegi. [10]
Tahun 1206 H / 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah, Muhammad bin 'Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Bahkan, kekuatan mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi'ah di Karbala, tercatat 4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan diri dari Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah kekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru
Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni Pemerintah Utsmaniyah, untuk bertindak tegas.Terlebih, berbagai aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim sedunia. Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahhabi. Dir'iyyah pun diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa'ud, amir saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini merupakan sebuah pelajaran yang akan ditampilkan Pemerintah Utsmaniyah kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya,semakin mendekatkan diri kepada kolonial Inggris . Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu, Abdul 'Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai secara kejam. [11]
Berkat dukungan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah kepemimpinan Abdul 'Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932 pemerintah Saudi Arabia terbentuk. Ini menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka.Kembali aliansi ini dijadikan instrumen khusus untuk kepentingan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat padanya, tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam. Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin dikurangi. Tetapi masalah sektarian yang menyangkut perlakuan buruk terhadap mazhab minoritas, terutama Syi'ah, tetap bertahan. [12]
Namun seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara.Pemicu utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai munculnya gejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai berani mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad 'Utaibi , seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap pemerintah Saudi. Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan situasi di tanah suc i. [13]
Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi. Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina bertahan sampai sekarang?Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka. [14] Itu pula yang menyebabkan pemerintah Saudi setengah hati ketika mendukung penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota bene berpaham Wahhabi.
Maka ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September 2001, ulama Wahhabi bernama 'Abdullah bin Jibrinmengeluarkan fatwa yang tidak hanya memungkinkan serangan terhadap WTC, tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Kerajaan Saudi. [15] Namun meski demikian, masih banyak jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
III. Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?
Ada pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf . Namun jika ditinjau dari kategorisasi historis, ada perbedaan di antara keduanya.
Sebagai respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad 'Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah pada masa lalu dan para pendahulu yang saleh ( al-salaf al-shalih ), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah. Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi ide-ide "modern" dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama. [16]
Akibat situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka mendekatkan diri ke Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb (w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah, namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah). Implikasi paling serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir . Muslim nominal (Islam "KTP") telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan dibunuh. [17]
Karakter radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan Salafisme dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup mencolok. Adapun yang membedakannya adalah sebagai berikut:
  1. Salafi lebih menekankan persuasi dari pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
  2. Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
  3. Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan di atas bisa ditarik ketika-sekali lagi-istilah Salafisme dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama yang berkembang di Indonesia.
IV. Sekilas Ajaran Wahhabisme
Setelah menampilkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit menyinggung doktrin utama ajaran mereka.
Dari layar sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca bagaimana pola ajaran mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba meringkasnya seraya menambahkan beberapa poin yang penulis anggap penting.
Kaum Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat linier, literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadits . Umumnya mereka menolak Majaz (metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Sehingga bid'ah hanyalah sebuah eufimisme, kata pelembut untuk 'kafir'. [18]
Mereka juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam , serta tidak mementingkan peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat kelahiran Nabi, rumah Ummul Mu'minin Khadijah, serta tempat tinggal Nabi dihancurkan. Padahal, menurut Syaikh Ja'far Subhani, awalnya Muhammad ibn 'Abdul Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia. Tetapi para pengikutnya kini telah memperluas usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan Islam, dengan dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah. [19] Ini tentu sangat disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.
Kian hari umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun bagi Wahhabi, persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana mereka membaginya menjadi tiga bagian: [20]
1). Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb , penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid ini sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum memadai untuk mencapai kualitas sebagai Muslim.
2). Tauhid al-Asma wa al-Alam
Mengandung pengertian hanya memungkinkan nama dan sifat yang disebut dalam Al-Qur'an. Tidak diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada siapapun selain Allah. Ini merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam antropomorfisme.
3). Tauhid al-'ibadah
Mengandung pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid inilah yang dianggap paling penting, yang membatasi secara tegas antara Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhid al-'ibadah didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah yang mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan. Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki karakter yang sangat keras. [21] Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah, tabarruk, syafâ'ah, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi dalam Islam Sunni dan Syi'ah seperti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas Tauhid al-'ibadah .
Dalam pandangan Wahhabi, bid'ah dibagi menjadi dua : 1). Bid'ah dalam adat dan tradisi; 2). Bid'ah dalam agama. Bid'ah yang pertama hukumnya mubah / bisa, sedangkan yang kedua haram dan sesat. Bid'ah yang kedua kemudian dibagi lagi menjadi dua: bid'ah qawliyyah i'tiqadiyyah dan bid'ah fi al-'ibadah .
Bagi Wahhabi, kaum Syi'ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid'ah baik bid'ah qawliyyah i'tiqadiyyah maupun bid'ah fi al-'ibadah . Maka dari itu dapat (bahkan harus) diperangi.
V. Refleksi
Wahhabisme pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam. Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian. Namun mengatakannya bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat lagi. Adapun memoar 'Confession of a British Spy 'tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan, meskipun tetap harus dibaca untuk' meraba 'situasi jazirah Arab saat itu.
Jika saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur pendek saja. Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, sampai ke Indonesia. [22] Dan penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat.Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan dingin , perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya.Contoh konkretnya bisa ditemukan di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Imbas ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan sekarang, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi . Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan gairah spiritualisme.
Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif. Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni atau Syi'ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme. Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke Universitas. [23]
Mungkin membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam. Lantas mereka menemukan di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang tergolong bid'ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan dalam bentuk sederhana dan "hitam-putih" cocok bagi mereka.
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama "orisinil" sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona. []

[1] Algar, Hamid. Wahhabisme, Sebuah Tinjauan Kritis , Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka sebagai representasi dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah .
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4] Hamid Algar memandang motif perjalanan Ibnu 'Abdul Wahhab masih tanda tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan bisnis atau sekadar bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif perjalanannya itu untuk menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Inggris and the Rise of Wahhabism and the House of Saud , e-Bulletin Vol.IV 16 January 2004,http://www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession of a British Spy ini diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid Algar, namun cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di jazirah Arab saat itu.
[7] Waqf ikhlas, Confession of a British Spy, Istanbul: Waqf Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44, 45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] International Crisis Group, dalam jurnal tertanggal 19 September 2005, melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum minoritas Syi'ah terus berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru secara terbuka mengkafirkan Syi'ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama Wahhabi yang terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi'ah.
[13] Trofimov, Yaroslav, Kudeta Mekkah , eBook, Pustaka
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website Wahhabi / Salafi baik di luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia , Bandung: Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[18] Muhsin Labib, Wahabisme Dan 'Teologi
[19] Subhani, Ja'far, Al-Milal wa Al-Nihal , Studi Tematis Mazhab Kalam , Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam bukunya, Jejak Kafilah, mengatakan bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus menerima dukungan dana signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII, Al-Irsyad, dan Persis. (Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung: Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat yang dipublikasikan di website alamat berikut:http://news.okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islam-menyusup-ke-smu

Selasa, 11 Juni 2013

Islamophobia Berbuah Petaka bagi Barat

Islamophobia Berbuah Petaka bagi Barat


Islamophobia atau prasangka buruk terhadap umat Islam di Barat semakin digalakkan melalui beragam aksi. Namun, tanpa disadari praktik itu justru mendorong masyarakat Barat untuk mengkaji Islam dan akhirnya memeluk agama langit ini. Krisis finansial di tengah masyarakat Barat telah meningkatkan perilaku-perilaku ekstrim di sana. Kebijakan Islamophobia yang dijalankan oleh pemerintah-pemerintah Barat turut mendorong kelompok-kelompok ekstrim untuk menyerang Muslim dan tempat-tempat suci mereka.

Dalam perkembangan terbaru praktik Islamophobia di Eropa, partai ekstrim kanan Golden Dawn di Yunani mengancam bahwa jika Muslim tidak meninggalkan negara itu dan meliburkan masjid-masjid, maka mereka akan dibunuh di jalan-jalan kota. Ancaman itu telah disampaikan kepada Asosiasi Muslim Yunani di Athena. Kelompok ultra nasionalis ini bahkan mengancam untuk mengerahkan 100.000 orang menentang rencana pembangunan sebuah masjid di Athena. Juru bicara partai, Ilias Kasidiaris mengatakan, "Kalau masjid dibangun untuk ‘penjahat' Islam di Yunani, sebuah gerakan 100.000 orang Yunani yang dipimpin oleh Golden Dawn akan dibentuk."

Yunani adalah rumah bagi sekitar 500.000 Muslim – banyak dari mereka adalah imigran – termasuk komunitas lebih dari 100.000 warga negara Yunani asal Turki di timur laut negara itu. Meskipun telah bertahun-tahun berjanji, pemerintah Yunani berturut-turut telah gagal memberikan sebuah masjid bagi umat Islam di Athena. Sejumlah pengamat menyebut Golden Dawn sebagai salah satu partai neo-Nazi di Eropa, partai itu juga memiliki logo yang hampir mirip dengan lambang swastika yang dipakai Nazi Jerman. Namun pihak Golden Dawn menampik pernyataan itu dan menegaskan bahwa partainya bukanlah partai fasis.

Di belahan lain benua Eropa, harian Daily Telegraph mewartakan peningkatan jumlah pemeluk Islam di Inggris. Koran ini seraya menyinggung penurunan 50 persen pemeluk Kristen menulis, "Setiap 10 orang dari kalangan pemuda di bawah usia 25 tahun, satu orang dari mereka telah meninggalkan agama Kristen dan memilih masuk Islam." Daily Telegraph menambahkan, "Penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan terhadap Islam di kalangan pemuda meningkat dari waktu ke waktu."

Hasil kajian yang diterbitkan pada tahun 2011 memperlihatkan bahwa jumlah pemeluk agama Kristen di Inggris turun sekitar 10 persen atau setara dengan 401 juta orang. Sementara penelitian baru menunjukkan bahwa populasi Muslim di Inggris meningkat 75 persen.

Laporan tersebut tentu saja bukan yang pertama kalinya disiarkan oleh media-media Barat terkait penyebarluasan Islam di Eropa, terutama Inggris. Televisi BBC beberapa waktu lalu menyiarkan sebuah dokumenter tentang bagaimana pertumbuhan Islam dan tren meninggalkan budaya Barat. Harian Inggris The Sun ketika mengulas tayangan tersebut menulis, "Masyarakat Inggris lebih memilih bernaung di bawah payung Islam dan berusaha mendapatkan keutamaan-keutamaan agama itu daripada menghabiskan waktu mereka di tempat-tempat hiburan malam." Berdasarkan data tahunan, lima ribu orang di Inggris menjadi Muslim dan 75 persen dari mereka adalah warga berkulit putih.

Tayangan itu juga mengakui bahwa agama Islam dengan cepat sedang berkembang di tengah pemuda Inggris dan masalah ini mengindikasikan kekayaan dan daya tarik budaya dan ajaran-ajaran Islam. Meskipun pemerintah dan lembaga-lembaga Barat tidak merilis data detail tentang jumlah pemeluk Islam di sana, namun kajian ringkas tersebut membuktikan bahwa kebijakan Islamophobia adalah kontraproduktif dan berdampak merugikan Barat sendiri. Islamophobia telah menyita opini publik di tengah masyarakat Barat, terutama pemuda untuk mengenal Islam dan memilih agama suci ini.

Uniknya, mereka yang telah memilih Islam di Barat adalah kalangan terpelajar dan cendekiawan. Islamophobia adalah bukan isu baru di masyarakat Barat. Perang melawan agama Islam meningkat tajam pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran. Revolusi besar ini membuktikan bahwa agama selain tidak menghalangi kemajuan masyarakat, tapi justru sebaliknya membebaskan manusia dari kegelapan dan keterbelakangan.

Oleh karena itu, Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat mengkampanyekan Islamophobia sebagai salah satu strategi untuk membendung penyebarluasan Islam. Strategi ini mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan terbitnya buku The Satanic Verses karangan Salman Rushdie.

Pasca peristiwa 11 September, AS melakukan kampanye luas Islamophobia untuk membenarkan intervensi militer mereka di negara-negara Islam. Pelecehan terhadap kitab suci al-Quran, Nabi Muhammad Saw, dan nilai-nilai sakral agama telah menjadi senjata Barat untuk memusuhi Islam. Untuk menjustifikasi praktik tidak manusiawi itu, Barat berupaya mengesankan Islam sebagai agama ekstrim dan penyebar kekerasan, khususnya terhadap kaum perempuan. Dalam hal ini, mereka membesar-besarkan perilaku Taliban dan Al Qaeda yang menafsirkan Islam secara kaku dan buta.

Meski adanya serangan besar-besaran, namun – mengingat ajaran Islam berlandaskan pada akal, rasio, dan fitrah – Barat justru menyaksikan pertumbuhan Islam di tengah masyarakat Eropa. Komentar beberapa muallaf menunjukkan bahwa kebijakan Islamophobia telah memancing rasa ingin tahu mereka untuk mengenal Islam dan mengkaji ajaran-ajaran yang dibawakan oleh agama ini. Faktanya, semakin gencar propaganda miring terhadap Islam itu mengalir deras justru dampaknya berbanding terbalik. Semakin diserang, semakin tinggi minat orang untuk mengetahui agama damai yang dicitrakan sebagai agama kekerasan oleh media massa Barat itu.

Pandangan demikian diakui sendiri oleh seorang warga Selandia Baru, Maria Jean Bhaskaran yang masuk Islam baru-baru ini. Maria mengungkapkan, "Saya menyaksikan gelombang deras propaganda anti Islam dan Muslim. Saya penasaran lalu memulai mengkajinya hingga berujung pada sebuah kesimpulan. Selama ini media massa mainstream menyebarkan propaganda bahwa Islam adalah agama kekerasan yang menyulut terjadinya perang.Tapi ternyata Islam adalah agama persaudaraan, perdamaian, yang mendorong pemeluknya untuk hidup harmonis, saling menyayangi dan mencintai antarsesama manusia. (Dalam Islam) semua manusia setara sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang diinginkan oleh manusia yang bebas dan independen. Itulah sebabnya saya memeluk Islam."

Bagi banyak orang di Barat sendiri, Islam adalah agama damai setelah mereka mengkaji agama langit itu. Misalnya, Mary Fallot, seorang Muslimah Perancis, mengatakan, "Saya meyakini Islam sebagai pembawa pesan cinta kasih dan perdamaian. Inilah pesan yang menjadi perhatian orang-orang Eropa. Saya mencari sebuah jawaban mengapa umat manusia membutuhkan aturan dan perilaku yang harus dipatuhi dan penjadi panutan. Tapi dalam agama Kristen tidak menyediakan sarana seperti itu bagi saya. Bagi saya, Islam adalah agama yang sederhana, tapi terperinci, dan dengan wajah yang jelas dan terang."

Mengenai fenomena itu, Lisa Lathe, orientalis Muslim dari Universitas Wina mengungkapkan faktor penting magnet Islam bagi masyarakat Barat. Lisa menuturkan, "Karena ajaran Islam yang holistik dan mengusung keadilan, kita menyaksikan peningkatan jumlah pemeluk Islam di seluruh dunia." Meskipun media massa Barat dan para penguasanya menggelontorkan dana yang sangat besar untuk menjegal pertumbuhan Islam di dunia, tapi perkembangan agama ini tidak bisa dihambat dan terus meningkat dari tahun ke tahun. (IRIB Indonesia)
Allah Swt berfirman, " Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. "(QS. al-Hadid: 22-23)

Sudah menjadi sifat manusia tidak dapat menerima bila nikmat yang berada di tangannya kemudian diambil atau tidak sampai kepada apa yang diinginkannya dan secara alami ia kemudian merasa sedih. Sifat seperti ini, sekalipun pada pandangan pertama terlihat alami dan biasa, dimana masyarakat juga tidak melihatnya sebagai sesuatu yang buruk, tapi Allah Swt telah memperingatkan manusia tentang masalah ini. Allah mengingatkan manusia dalam surat al-Hadid ayat 22-23.

Begitu juga dalam surat Ali Imran ayat 153. Setelah menjelaskan kondisi sulit yang dihadapi umat Islam akibat kalah dalam Perang Uhud dan sebagian umat Islam yang lari dari medan perang, kelanjutan ayat ini menyinggung tentang tidak perlu terlalu bersedih karena kehilangan sesuatu dan tidak sampai kepada yang diinginkan. Pada dasarnya, Allah Swt ingin menambah kapasitas semangat umat Islam bahwa sekalipun di medan perang kalian mengalami kekalahan, tapi tidak perlu bersedih dan menunjukkan sikap tegar. Mereka harus tahu bahwa Allah Swt Maha Mengetahui kesedihan dan kesulitan yang dihadapi.

Dalam surat al-Hadid ayat 22-23, Allah Swt juga memberikan pencerahan bahwa setiap peristiwa dan musibah terjadi dengan sepengetahuan-Nya dan semua itu merupakan kehendak Allah untuk menciptakan kemampuan menanggung penderitaan dalam jiwa manusia, sehingga mereka dapat mencapai maqam ridha, dimana mereka ridha dengan segala apa yang terjadi pada dirinya.Akibatnya, mereka tidak akan menyesali apa yang diambil darinya dan begitu juga tidak terlalu senang dengan apa yang diraihnya. Tapi yang mereka harus ketahui adalah apa saja yang diambil darinya akan digantikan oleh Allah di akhirat dan akan diberikan kepada mereka. Sementara mereka harus berterima kasih kepada Allah Swt atas apa yang diberikan kepadanya. Sebagai ungkapan syukur manusia kepada nikmat Allah Swt adalah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya. [1] Dalam hal ini, tidak bisa lagi ada penyesalan atau kegembiraan berlebihan dalam diri umat Islam.

Saat ini, mengajak manusia memperhatikan peringatan ilahi ini sangat bermanfaat ketika terjadi musibah atau bencana alam yang menimpa manusia dimana mereka mengalami kerugian materi dan jiwa. Karena peringatan ilahi ini dapat memperkuat semangat mereka untuk lebih tegar dan sabar

Senin, 10 Juni 2013

Nestapa Liga Arab, Nestapa Palestina

Nestapa Liga Arab, Nestapa Palestina


Oleh: Muhammad Ma'ruf

"Andaikan salah satu kesepakatan terakhir KTT Liga Arab ke 24 di Doha, Qatar, Selasa (26/3) mengesahkan anggotanya untuk membantu persenjataan kepada pejuang Palestina sejak Liga Arab resmi didirikan pada 22 Maret 1945, mungkin Palestina sudah merdeka sejak dulu kala, dan orang Yahudi,  Muslim dan Kristen  bisa bikin negara bareng lewat referendum yang demokratis"

Sejarah mengatakan untuk melawan Kesultanan Usmaniyah  pada abad ke 19, Inggris sebagai musuh pada Perang Dunia Pertama memprovokasi negara-negara Arab dengan semangat Pan Arabisme untuk membentuk gerakan Liga Arab. Kemudian tahun 1943, Mesir sebagai pemrakarsa pertama kali mendorong berdirinya Liga Arab.  Liga Negara-Negara Arab (bahasa Arab: جامعةالدولالعربيةJāmiʻat ad-Duwal al-ʻArabiyya) atau Liga Arab (bahasa Arab: الجامعةالعربيةal-Jāmiʻa al-ʻArabiyya), adalah sebuah organisasi yang terdiri dari negara-negara Arab dan bermakas di Kairo. Organisasi ini secara resmi didirikan pada 22 Maret 1945 oleh tujuh negara, Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, Yaman.

Organisasi ini awalnya mempunyai nilai ideal, menyatakan tujuanya dalam Piagam bahwa Liga Arab bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan. Salah satu poin penting adalah Piagam Liga Arab melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain. Tujuan mulia  Liga Arab ini untuk mempererat persahabatan Bangsa Arab, memerdekakan negara di kawasan Arab yang masih terjajah, mencegah berdirinya negara Yahudi di daerah Palestina dan membentuk kerjasama dalam bidang politik, militer, dan ekonomi.

Seiring berjalanya dinamika sejarah terutama negara pendiri Liga Arab dengan plus minusnya, hanya ada dua piagam yang sulit dan gagal diwujudkan, memerdekaan Palestina sekaligus mencegah berdirinya negara Yahudi di daerah Palestina dan melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain. Fakta menunjukkan hingga saat ini, 2013, Israel sukses menguasai 90% dari seluruh tanah Palestina. Kesuksesan Israel ini karena jasa Inggris pada awalnya, membantu berdirinya Israel Raya (negara rasis khusus Yahudi) dan mengeliminir bantuan tujuh pendiri Liga Arab untuk mendukung kemerdekaan Palestina.

Sebagai pelopor dan tersukses terbesar negara penjajah diseluruh dunia, Inggris dengan kelicikanya menyerahkan urusan Israel dan aset-aset minyak kepada Amerika Serikat. Dalam urusan jajah menjajah Amerika pernah di jajah Inggris cukup lama.  Akan tetapi bagi Amerika dan Inggris, keduanya sama-samanya mengganggap Israel sebagai benteng pertahanan imperialisme di Timur Tengah.  Amerika Serikat sukses meciptakan negara boneka minus demokrasi di Mesir (Hosni Mubarak),  Yordania (Raja Abdullah), Arab Saudi (Abdullah bin Abdul Aziz) dan  Yaman ( Ali Abdullah Saleh). Sedangkan Irak ditaklukan dengan invasi, Lebanon sulit ditaklukan dengan invasi karena ada Hizbullah, dan terakhir Suriah ditaklukan dengan kekerasaan lewat Liga Arab.

Jadi tidak aneh lagi jika Liga Arab, pada pertemuan terakhir KTT Liga Arab ke 24 di Doha, Qatar, mengesahkan anggotanya untuk membantu persenjataan sebanyak 3500 ton kepada pemberontak Suriah.  Liga Arab  dipakai oleh negara pendirinya terutama (Mesir, Yordania, Arab Saudi, Yaman (boneka Amerika), untuk mengganti paksa pemerintahan  Assad (Suriah), yang juga pendiri Liga Arab. Dengan kata lain, Amerika Serikat menggunakan Liga Arab untuk menghabisi sesama anggotanya, sama-sama etnis Arab, sama mazhab Sunni, sama-sama beragam Islam, dan tak kalah mengerikan sama-sama pendukung kemerdekaan Palestina dengan level masing-masing. Tanpa melebih-lebihkan ukuran membantu Palestina, Assad yang katanya kejam sampai detik ini tidak membuka kantor perwakilan negara Israel, mempersilahkan para aktifis HAMAS untuk membuka kantor di Damaskus, penampung pengungsi Palestina terbesar di dunia,   juga satu-satunya negara Liga Arab yang membantu persenjatan HAMAS semampunya melawan militer canggih Israel.  Tepuk tangan para Jendral Israel dan miris bagi manusia pro Palestina adalah pembantaian para pengungsi Palestina di Suriah oleh pemberontak. Tentu saja para korban adalah mereka sama-sama shalat lima waktu, menyembah Tuhan yang sama, sama-sama di tindas Amerika Serikat dan Israel.

Jika saja para pemberontak Suriah ini sedikit saja menggunakan akal, pasti tidak mudah ditipu. Tapi karena asik larut dalam kebencian propaganda kekejaam Assad made in USA dibumbui penghayatan emosi fatwa jihad minus akal sehat yang meledak-ledak, akhirnya lupa siapa lawan siapa kawan. Ukuranya mudah saja,  jika kebencian kepada Assad melebihi kebencianya pada Netanyahu maka sudah pasti  sesama muslim gambang digerakkan untuk saling bunuh, bahkan kondisi terkini makin parah dengan bantuan makin vulgar dari AS dan Liga Arab, dan ke depan kalau sudah disumbang berton-ton senjata masih gagal, tinggal menunggu pasukan neraka dari Israel turun tangan menginvasi Suriah bergandengan dengan Arab Saudi, Qatar dan Turki. Sudah pasti, tentunya Amerika tidak mau nekat dengan NATO mengintervensi Suriah karena modalnya makin cekak (tipis).

Bagi jendral-jendral tua Amerika Serikat, negara imperium terbesar di jagat ini, menumpahkan darah sudah biasa. Mereka sudah berpengalaman menjadi penjahat, hati mereka sudah biasa gelap,  mereka sukses dengan bom atom membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945 dengan alasan untuk menghentikan perang dunia II, sukses membunuh 2 juta orang Irak dengan alasan Saddam menyimpan senjata pemusnah masal, sukses membasmi 1 juta orang Afganistan dengan dalih mencari Ossama dan masih banyak darah manusia tertumpah sia-sia di muka bumi oleh Amerika. Terakhir darah tertumpah sebanyak 70.000 warga suriah, tentara Assad dan  pemberontak, pertanyaan darah tertumpah untuk siapa? Dipersembahkan untuk kemuliaan Israel atau Islam?.

Paparan ini mungkin tidak sepenuhnya benar, dan sepenuhnya salah, tapi layak direnungkan. Suriah bukan peperangan rebutan kapling minyak, setidaknya bukan motif perang ala imperialis,  tapi masalah hidup mati masa depan eksistensi Israel berikut paham zionisnya. Inilah kepentingan Amerika untuk mengatur pergantian rezim Suriah nantinya agar pro Israel, setidaknya  bisa ditipu dengan model-model perdamaian ala Tel Aviv. 

Bagaimana dengan kaum jihadis di Suriah? Benarkah perang Suriah adalah ladang amal, sesuatu yang bersifat ideal, dan apakah diridhi oleh Allah, benarkah perang ini sesuatu yang suci?, Bagaimana nantinya jika yang berkuasa pasca Assad  pro zionis? Ini membutuhkan pembahasan tersendiri. Tapi sesuatu yang di depan mata dan pasti adalah, senjatanya dari pemerintahan negara negara muslim, darahnya sama-sama muslim, sedangkan Amerika hanya dengan modal kelicikan saja, tidak lebih tidak kurang.

 Bagaimana dengan tujuan mulia  Liga Arab untuk mempererat persahabatan Bangsa Arab, melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain, memerdekakan negara di kawasan Arab yang masih terjajah, Palestina?
Pertanyaan ini pantas di ajukan kepada para pemimpin anggota  pendiri Liga Arab sekaligus anggota  boneka Amerika? Andaikan salah satu kesepakatan terakhir KTT Liga Arab ke 24 di Doha, Qatar, Selasa kemaren mengesahkan anggotanya untuk membantu persenjataan kepada pejuang Palestina sejak Liga Arab resmi didirikan pada 22 Maret 1945, mungkin Palestina sudah merdeka sejak dulu kala, dan orang Yahudi,  muslim dan Kristen  bisa bikin negara bareng lewat referendum yang demokratis. (IRIB Indonesia)

*) Mahasiswa magister Filsafat Islam ICAS-Paramadina